Minggu, 20 Agustus 2017

Sejarah Singkat VOC dan Awal Mula Kependudukan Belanda di Nusantara

Gambaran ilustrasi armada kapal 
Cornelis yang berlayar ke Banten.

Sejak zaman dahulu, bangsa-bangsa Eropa sudah hobi menjelajahi segala penjuru dunia, terutama ke daerah timur, untuk berdagang. Termasuk juga Nusantara yang pada zaman dahulu menjadi persinggahan banga-bangsa asing seperti China, Arab, Jepang, Inggris, Portugis, Spanyol dan Belanda.

Awal mula kependudukan Belanda di Nusantara bisa dilihat kembali 500 tahun yang lalu. Kelangkaan rempah-rempah di Eropa pada abad ke-15'an membuat orang-orang Eropa berbondong-bondong datang ke Asia untuk mencari rempah-rempah. Termasuk Belanda yang mengutus Cornelis De Houtman ke Portugis untuk mencari tahu dimana mereka bisa mendapatkan rempah-rempah terbaik di negeri Timur.

Saat Cornelis kembali ke Amsterdam, Jan Huygen Van Linschoten juga kembali dari India. Para pedagang yang ikut dengan Cornelis dan Linschoten sepakat bahwa Banten adalah tempat terbaik untuk mencari rempah-rempah. Oleh karenanya, pada 2 April 1595, 4 kapal armada Cornelis meninggalkan Amsterdam dan memulai pelayaran menuju Nusantara. Dan pada 27 Juni 1596, Cornelis tiba di Banten. Peristiwa ini juga menjadi awal mula penjajahan Belanda atas Indonesia.

Awalnya Cornelis di sambut hangat oleh warga Banten, tetapi setelah 3 tahun, mereka sadar bahwa Cornelis adalah orang yang serakah dan arogan. Bekerja sama dengan Portugis, pasukan Sultan Banten berhasil mengusir armada Cornelis keluar dari Banten. Ia kemudian memutuskan untuk memulai pejalanan ke pulau Madura. Penjelajahannya tidak berjalan lancar, karena terjadinya kesalahpahaman komunikasi, armadanya diserang oleh penduduk lokal saat tiba di pelabuhan Sedayu, Gresik. 12 awak kapalnya tewas, sementara panglima perang suku Madura terbunuh dalam penyerbuan tersebut. Beberapa awak kapal Cornelis ditahan oleh suku lokal sehingga ia harus membayar denda untuk menebus mereka. Lagi-lagi, ia diusir dari tanah pribumi.

Meskipun situasi tidak mendukung, Cornelis tetap memutuskan melanjutkan ekspedisi ke pulau Bali. Pada 26 Februari 1597, ia berhasil bertemu Raja Bali. Mereka berhasil mengatur kesepakatan bisnis dan mendapatkan beberapa macam rempah-rempah untuk dibawa pulang ke Belanda.

Tetapi kesialan Cornelis dan awak kapalnya tidak berakhir sampai disitu, saat armada Cornelis memasuki perairan Samudera Atlantik, kapal-kapal Portugis mencegatnya sehingga ia tidak bisa berlabuh di St.Helena untuk membeli persediaan makanan dan suplai. Sehingga dalam perjalanan pulangnya, awak-awak kapal Cornelis menderita kelaparan dan banyak penyakit menjangkiti para awak kapalnya. Dari 249 awak kapal, hanya 87 orang yang selamat. Termasuk 2 awak kapal yang memilih tinggal di Bali.

Seiring kepulangan Cornelis ke negrinya, berita tentang kekayaan alam Nusantara menyebar keseluruh tanah Eropa, yang pada akhirnya menyebabkan berbagai bangsa di Eropa berbondong-bondong datang ke Nusantara untuk berdagang dan mencari keuntungan.

Semakin banyaknya pedagang Eropa yang datang membuat persaingan antar pedagang semakin keras. Akhirnya pada 20 Maret 1602, pendatang Belanda di Nusantara yang didukung oleh pemerintah Belanda mendirikan kongsi dagang bernama VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie), organisasi VOC kemudian merangkul para pendatang Belanda untuk menghilangkan persaingan antar pedagang dan untuk membendung pengaruh EIC (East Indies Company, kongsi dagang Inggris yang saat itu menjadi salah-satu musuh terbesar VOC).

Sebagaimana kongsi dagang internasional, VOC memiliki beberapa hak istimewa dan kewenangan yang luas, salah-satu diantaranya adalah VOC memiliki hak untuk memiliki angkatan bersenjata, hak memiliki tanah jajahan, hak untuk memerintah dan membuat hukum ditanah jajahan, hak untuk menyatakan perang terhadap negara lain dan atau membuat perjanjian damai dengan negara lain, hak untuk melakukan monopoli perdagangan, dan juga hak untuk mencetak uang sendiri. VOC juga dianggap sebagai wakil pemerintah Belanda di Asia. Hak-hak istimewa ini disebut juga dengan "Hak Octroi".

Pada awalnya VOC berbisnis dengan kaum pribumi "secara halal. Tetapi setelah sadar besarnya potensi kekayaan alam Indonesia, VOC semakin ingin menguasai hasil bumi Indonesia. Akhirnya VOC melakukan praktek Monopoli sehingga kaum pribumi tidak lagi bisa menjual hasil bumi mereka dengan bebas. Salah-satu kebijakan opresif VOC adalah kebijakan Verplichhte Leverantie, dimana VOC punya kuasa penuh dalam penetapan harga jual-beli, hal ini memaksa para petani untuk menjual hasil taninya dengan harga yang sangat murah, yang tentunya sangat merugikan para petani.

Kebiadaban VOC menumbuhkan kemarahan para petani pribumi, akhirnya kaum pribumi melakukan segala bentuk perlawanan fisik maupun diplomasi untuk mengusir VOC. Sebagai upaya mempertahankan eksistensinya, VOC merekrut rakyat pribumi dengan gaji tinggi untuk dijadikan centeng atau tukang pukul, untuk membuat kaum petani takut dan patuh kepada imperialisme VOC.

VOC diawasi dan dipimpin secara langsung oleh gabungan dewan yang merupakan perwakilan dari 8 kota pelabuhan dagang Belanda. Dewan tersebut dinamakan "Dewan Tujuh Belas" (De Heeren Zeventien) karena beranggotakan 17 orang. Di awal masa kejayaannya, “Dewan Tujuh Belas” secara langsung bertugas menjalankan berbagai urusan VOC, termasuk urusan perluasan wilayah dan bisnis perdagangan. Tetapi pada kenyataannya, “Dewan Tujuh Belas” tidak bisa melakukan tugasnya secara efektif, karena mereka berkedudukan di Belanda dan saat itu komunikasi jarak jauh masih sangat sulit dilakukan.

Oleh karenanya, pada 1610, Dewan Tujuh Belas mengangkat seorang Gubernur Jenderal untuk secara langsung mengawasi jalannya pemerintahan di daerah Nusantara. Di samping itu juga dibentuk “Dewan Hindia” (Raad Van Indie). Tugas “Dewan Hindia” adalah sebagai penasehat dan mengawasi kepemimpinan sang Gubernur Jenderal. Simpelnya, "Dewan Hindia" adalah wakil dari Gubernur Jenderal.

Gubernur Jenderal VOC yang pertama adalah Pietr Both, ia menjabat dari tahun 1610 sampai 1614. Hal yang di lakukan Pieter Both pertama kali adalah mendirikan pos perdagangan di Banten pada tahun 1610. Pada tahun itu juga Pieter Both memasuki dan singgah ke Jayakarta. Pangeran Wijayakrama yang saat itu adalah penguasa Jayakarta menerima baik kedatangan VOC, Pangeran Wijayakrama mengizinkan pedagang dari bangsa mana saja untuk masuk Jayakarta. Sehingga Jayakarta juga menjadi kota paling maju di Nusantara saat itu. 

Pietr Both berhasil menduduki dan menjadikan Jayakarta sebagai pusat pemerintahan mereka. Semakin banyak wilayah yang diduduki oleh VOC, semakin arogan-lah para petingginya. Hal ini menimbulkan kebencian oleh para pribumi dan para raja-raja di Nusantara. Pada tahun 1618, Kesultanan Banten dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta. Orang-orang Belanda yang awalnya menetap di Jayakarta kemudian kabur ke Maluku. Setahun setelah VOC meninggalkan Jayakarta, pasukan Banten juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Akhirnya Jayakarta bisa kembali ke tangan Kesultanan Banten.

Tak lama setelah Jayakarta pindah ke tangan Kesultanan Banten, VOC mengangkat Gubernur Jenderal baru pengganti Laurens Reael, yaitu Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal sebagai Gubernur Jenderal VOC yang paling kejam dan mempunyai sifat ambisius yang tinggi. Setelah pelantikannya, J.P. Coen segera mempersiapkan pasukan untuk merebut kembali kota Jayakarta. Pada awal 1619, armada angkatan laut dengan 17 kapal perangnya mengepung Jayakarta.

Hanya dalam waktu beberapa bulan, Jayakarta dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumi hanguskan oleh VOC pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puing-puing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya Eropa. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta. (Sebenarnya J.P Coen ingin mengganti nama Jayakarta menjadi Niew Hoorn, seperti nama kota kelahirannya, tetapi usul itu ditolak oleh pemerintah Belanda. Nama Batavia dipilih untuk menghormati suku Bataav yang dianggap sebagai leluhur bangsa Belanda).

Pada rentang tahun 1683-1710, VOC mengalami masa-masa yang sulit. Hanya 3 cabang kantor VOC yang mampu menyetorkan keuntungan, sementara kantor cabang lain seperti di Ambon, Banda, Ternate, Makassar, Banten, Cirebon, dan di Jawa menunjukkan kerugian yang signifikan. VOC terlalu banyak mengeluarkan biaya untuk berperang melawan kerajaan-kerajaan lain dan juga para pejuang pemberontak. Disamping itu juga banyak kasus korupsi diantara para pengurus VOC. (Saking banyaknya kasus korupsi dikalangan para petingginya, sampai ada ungkapan "VOC kepanjangan dari Vergaan Onder Corruptie" atau yang berarti Tenggelam Karena Korupsi)

Kepentingan-kepentingan bersama terabaikan. Para pengurus tidak lagi berpikir untuk memajukan usaha perdagangannya, tetapi berpikir untuk memperkaya diri sendiri dan berfoya-foya. Keuntungan VOC perlahan mulai merosot. Bahkan tercatat pada tahun 1673, VOC tidak mampu membayar dividen.

Hingga pada tanggal 31 Desember 1799 VOC resmi dibubarkan oleh pemerintah Belanda karena dianggap tidak menguntungkan. Semua hutang piutang dan segala aset milik VOC diambil alih oleh pemerintah. Sebagai pengurus VOC yang terakhir, Van Overstraten masih harus bertanggung jawab mengurus keadaan di Nusantara. Ia kemudian ditugaskan mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. 

(FYI, hutang VOC totalnya mencapai 136 juta Gulden. Well, ane gak tau 136 juta Gulden tahun 1700-an itu berapa kalo di Rupiah-kan, tapi 100 Gulden sekarang sama dengan 70.000-an Rupiah kalo gak salah sih)

Setelah itu, pemerintah Belanda bertanggung jawab memulihkan keadaan di tanah jajahan VOC yang berada di Nusantara dan kemudian mengambil alih wilayahnya.




Daftar tokoh-tokoh yang pernah menjadi Gubernur Jenderal VOC :

Pietr Both (1610-1614)
Gerard Reynest (1614-1615)
Laurens Reael (1616-1619)
Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629)
Pieter De Carpienter (1623-1627)
Jacques Specx (1629-1632)
Hendrik Brouwer (1632-1636)
Antonio Van Diemen (1636-1645)
Cornelis Van Der Lijn (1645-1650)
Carel Reyniersz (1650-1653)
Joan Maetsuycker (1654-1678)
Rijckloff Van Goens (1678-1681)
Cornelis Speelman (1681-1684)
Johannes Camphuys (1684-1691)
Willem Van Outhoorn (1691-1704)
Joan Van Hoorn (1704-1709)
Abraham Van Riebereck (1709-1713)
Christoffel Van Swoll (1713-1718)
Henderick Zwaardecroon (1718-1725)

Mattheus de Haan (1725-1729)

Diederik Van Durven (1729-1731)

Dirk van Cloon (1731-1735)
Abraham Patras (1735-1737)
Adriaan Valckenier (1737-1741)
Johannes Theddens (1741-1743) 
Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750)
Jacob Mossel (1750-1761)
Petrus Albertus Van Der Parra (1761-1775)
Jeremias van Riemsdijk (1775-1777)
Reinier De Klerk (1777-1780)
Willem Arnold Alting 1780-1796
Pieter Gerardus van Overstraten (1798-1799)